Manusia yang berstatus muslim pasti akan selalu berusaha
mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Mencoba merayu Sang Maha Kuasa agar selalu
memberikan kemudahan dalam hidup serta kelimpahan rizki yang penuh barokah. Banyak
dari berbagai kegiatan, yang berimingkan hasil sesuai dengan apa diinginkan
dari Yang Maha Segalanya, digeluti tanpa ada keraguan sedikitpun didalamnya.
Bahkan tidak sedikit dari manusia mengumpulkan atau bisa dibilang “mengoleksi”
barang-barang yang dipercayai mempunyai kekuatan yang lebih serta memberikan
banyak manfaat atas seizin Sang Maha Menciptakan, Allah Ta’ala. Dizaman
Rasulullah misalnya, banyak bangsa arab yang mengagungkan dan menyembah benda
alam seperti pohon atau yang lebih disebut dengan ‘Uzza. ‘Uzza sangat
diagungkan orang Quraisy dan Kinanah (Abdul Karim, 2013 : 42 ), disebabkan
mereka pernah mendengar suara darinya sehingga mereka berkeyakinan bahwa ‘Uzza
memiliki kekuatan yang lebih daripada manusia. Pada masa kekinian sekalipun
manusia tak akan pernah lupa dengan hal-hal yang cendrung bersifat mistis.
Masyarakat
Indonesia, menurut ulasan dalam kompasiana.com, pada tahun 2013 demam batu akik mulai terasa kuat,
berbagai toko dan kios batu mulia bermunculan (Angela, 2015). Salah satu
penyebabnya, adanya kepercayaan masyarakat akan daya magis yang bisa membawa
pengaruh positif pada pemakainya diantaranya menambah karismatik, membuka aura
kecantikan bagi wanita dan ketampanan bagi pria. Hal tersebut merupakan salah
satu dari ribuan fenomena yang terjadi di Indonesia. Mungkin mereka percaya
akan kekuatan magis yang ada pada benda tersebut sehingga memanfaatkan kekuatan
magis untuk kepentingan pada diri mereka, tapi bila mereka dikatakan sebagai penyembahnya
mereka akan menolak. Mereka tak akan berbicara secara terbuka bila mereka
menyembah benda mati ciptaan tangan manusia. Karena nalar manusia tidak akan
menyetujui penyembahan terhadap benda mati yang tak dapat berbicara dan
mendengar. Akhirnya kebanyakan dari mereka berasumsi bahwa benda tersebut
merupakan washilah antara mereka dengan tuhan.
Kata
washilah merupakan serapan dari kata dalam bahasa arab yaitu washala yang
artinya menghubungkan. Washilah merupakan sesuatu yang menghubungkan dengan
sesuatu yang lain. Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur’an Al Maidah ayat 35 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (wasilah) dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kalian mendapat keberuntungan.”
Ayat
tersebut sering dijadikan dalil bagi orang-orang yang ingin berwashilah kepada
Allah. Mereka berkeyakinan bahwa bila mereka beribadah langsung kepada Allah
ibadah mereka tak akan sampai kepada-Nya. Maka dari itu mereka membutuhkan
orang-orang sholeh atau benda yang memiliki kekuatan sebagai washilah agar
ibadah mereka diterima disisi Allah. Apakah ini penafsiran yang benar? Jelas jawabannya
TIDAK. Al-Jalalain menafsirkan kalimat وَابْتَغُوا
إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ dengan makna “ Carilah amalan ketaatan yang
bisa mendekatkan diri kalian kepada Allah” (Tafsir Jalalain Surah Al-Maidah:
35). Begitu pula dengan tafsir Ibnu Katsir yakni “mendekatkan diri kepada-Nya
dengan melakukan ketaatan dan amalan yang Dia ridhai”(Tafsir Ibnu Katsir
Al-Maidah:35). Tafsiran Ibnu Katsir tidak berdiri sendiri ia didukung oleh
tafsir dari Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Bashri dan yang lainnya. Dengan demikian
jelas bahwa semua mufassir sepakat bahwa
washilah kepada Allah bukan dengan benda yang memiliki kekuatan magis ataupun
orang-orang sholeh yang telah meninggal, melainkan dengan amal sholeh dan
ketaatan diri terhadap semua perintah dan larangan Allah Ta’ala.
Dewasa
ini menuntut kita untuk semakin jeli dengan segala sesuatu yang berada
disekitar kita, ditakutkan dapat menjerumuskan pada kemusyrikan. Sudah menjadi
pengetahuan umum bagi para muslim bahwa syirik adalah dosa besar yang tak
terampuni. Sedangkan pemahaman masyarakan pada umumnya terhadap arti dari
sebuah wasilah justru berperan sebagai jembatan penghubung kepada kemusyrikan.
Mungkin kita tidak menyembah terhadap hal tersebut melainkan hanya percaya
dengan kekuatan yang ada padanya dapat menolong kita dari marabahaya.
Waspadalah! Karena kemusyrikan berawal dari kepercayaan. Tanamkanlah selalu
dalam hati bahwa yang Maha Penolong hanya Allah Ta’ala lagi Maha Kuasa. Dan
hanya amalan sholeh dan ketaatan kepada-Nya yang menjadi washilah antara kita
dengan Allah. Usiikum wa iyya nafsii bitaqwallah.
_________________________________________
Artikel by
Nadia Husna/ Perbandingan Agama
5
(Afkar Edisi Pertama Desembar)
0 komentar