Rabu, 16 November 2016

Ilmu Dalam Dunia Islam

Hasil gambar untuk ilmuIlmu muncul berulang kali dalam al-Qur’an dan menempati posisi kedua setelah tauhid. Al-Attas menunjukkan bahwa ilmu (al-ilm, ma’rifah;ilm) menempati posisi yang paling penting dalam Islam berdasarkan fakta bahwa al-Qur’an menyebutkannya lebih dari 800 refrensi, lihat; Islam and Scularisme.  Hal ini menunjukkan betapa konsep terpenting dan komprehensif yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah ilmu setelah iman. Keadaan ini bisa dilihat dari fakta lima ayat pertama yang diturunkan dalam al-Qur’an  (al-Alaq, 96: 1-5), serta puluhan hadist nabi yang menegaskan wajibnya mencari ilmu.
 Namun seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme menyebabkan umat Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat  secara buta. Kecendrugan sikap meniru ini menyebabkan kebingungan yang berlanjut pada hilangnya identitas. Dengan demikian upaya membangkitkan kembali konsep ilmu dalam Islam sangat penting untuk dilakukan.
Ilmu dan Pandangan Hidup (Worldview)
    Setiap masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh nialai-nilai, aturan dan sistem kepercayaan yang mampu membentuk pola pikir dan berprilaku para anggotanya. Dalam kehidupan sosial, biasanya seperangkat nilai, aturan dan kepercayaan itu akan teralirkan dari satu generasi ke generasi melallui suatu proses soasialisasi yang pada akhirnya membentuk suatu tradisi di tengah masyarakat. Itu sebabnya, sebagai suatu konsep sosio-logis, tradisi bisa diartikan meliputi worldview yang terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem, kepercayaan dan pola berpikir masyarakat dalam keseluruhan tata cara hidupnya. (At-Ta’dib, vol 6, 2011: 262)
Masyarakat muslim adalah suatu kelompok masyarakat yang dikenal memiliki akar-akar teradisi yang kokoh, karena Islam yang mereka peluk menjadi bagian dari mata rantai yang telah ada sejak nabi Adam. Pandangan ini didasarkan pada penegasan berbagai surat di dalam a-Qur’an, bahwa para nabi dan rasul terdahulu mewariskan pahan Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) kepada umatnya masing-masing sebagaimana nabi Muhammad mengajarkannya kepada umat Islam. Lihat: Qs. An-Nahal: 36, Qs. Al-A’raf: 59, 65, 73-75, Qs. Al-Maidah: 72, dan al-Akabt:16.
Berangkat dari makna ilmu sebagaimana di defenisikan oelah al-Attas, jelas bahwa dalam worldview Islam ilmu berakaitan erat dengan iman, aql, qalb, dan taqwa. Ilu tidah hanya merupakan suatu pengetahuan yang terhimpun secara teratur, tetapi juga merupakan suatu metodelogi. Dimana metodelogi yang haq tentu tidak akan bertentangan denagan yang haq. (al-Attas the conceptof education in Islam: 14)
Klasifikasi Ilmu
Al-Ghazali membagi ilmu secara umum menjadi dua yaitu ilmu muamalah dan ilmu mukasyafah. Sedangkan,  ilmu muamalah ini dikelompokkan menjadi dua ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu ain yang dimaksud oleh Ghazali adalah ilmu yang yang harus dipelajari terlebih dahulu dalam kaitannya disini seperti ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh dan ilmu yang lainnya yang merupakan landasan dalam beragama. Selanjutnya, ilmu fardhu kifayah, ilmu ini kaitannya dengan sifat sosial yang apabila ada beberapa diantara suatu kaum maka yang lain tidak wajib mempelajarinya. Seperti ilmu untuk kemaslahatan dunia, seperti ilmu kedokteran dan ilmu matematika.
    Ghazali telah berusaha mengkalsifikasikan ilmu secara hirarki yang artinya bahwa sumber ilmu adalah Allah dan tidak ada pemisahan antara ilmu Agama dan ilmu alam. Ia juga menentukan nilainya sesuai dengan tingkat manfaat dan bahaya yang ditimbulkannya dalam hubungannya dengan tugas dan tujuan hidup manusia dalam mewujudkan tatanan kehidupan dunia untuk mencapai tujuan hidup manusia itu bahagia di dunia dan akhirat. Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia.Pemikiran ini setidak-tidaknya akan memberikan dorongan kepada masyarakat untuk menguasai ilmu pengetahuan. Dari prinsip-prinsip klasifikasi ilmu yang dilakukan oleh Ghazali dapat diturunkan konsep bagunan keilmuan (body of knowledge), yaitu aksiologi, ontologi, epistemelogi.
    erkadang kritikus menuduh bahwa salah satu penyebabnya kemerosotan ilmu Islam adalah pemikiran sufistik Al-Ghazali sekaligus gagasannya tentang dikotomisasi ilmu dunia dan ilmu akhirat. Sehingga masyarakat terbuai dengan ilmu-ilmu agama dan mengacuhkan kategori ilmu rasional. Padahal, sebenarnya pemikiran para cendikiawan muslim (termasuk Al-Ghazali) pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari kemajuan umat Islam yang ada di zamannya, bahkan merupakan motivasi dan etos kerja bagi umat Islam periode klasik. Masih sekitar empat abad kemudian setelah Al-Ghazali Meninggal, ternyata peradaban dan kemajuan umat Islam masih mendominasi peradaban dunia.
Kalaulah pengaruh Al-Ghazali menjadi penyebab kemunduran umat Islam, bagaimanapun kemunduran itu akan terlihat sesudah ia meninggal, dan sulit bertahan sampai abad ke-15. Dan kalau di lihat dari pendekatan sosiokulturalnya, umat Islam pada masa lalu dalam masa kejayaannya tidak memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Seluruh pengetahuan berasal dari Tuhan, oleh karena itu harus dipelajari oleh umat Islam. Di antara ulama tidak ada yang membantah akan pentingnya ilmu kedua macam ilmu tersebut untuk selalu dipelajari. Baru setelah timbul kekhawatiran di kalangan umat Islam akan kecenderungan melupakan ilmu agama, para ulama seperti Al-Ghazali, seorang tasawuf mengkritik Ibnu Rusyd karena terlalu menggunakan rasio dari pada wahyu dalam proses menemukan yang hakiki. Yakni pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni prinsip at-tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran, dan prinsip kesatuan sumber ilmu pengetahuan.
   
Load disqus comments

0 komentar